Permasalahan pada pemerintahan daerah adalah praktek
nepotisme yang terjadi secara bertahap namun dalam jangka panjang. Praktek
nepotisme dilakukan oleh salah seorang pejabat nepotis yang merekrut
saudara-saudara dari keluarga besarnya untuk menjadi pegawai di instansi
tersebut. Modus awalnya adalah dengan merekrut kerabatnya tersebut menjadi pegawai
honorer, kemudian mereka diutamakan dan didahulukan dalam proses pengajuan
pengangkatan menjadi PNS.
Instansi tersebut juga memiliki pegawai-pegawai tetap
(berstatus PNS) dan pegawai-pegawai honorer yang direkrut melalui jalur
rekrutmen resmi. Jalur rekrutmen resmi ini dilakukan melalui beberapa tahap
yaitu tes tertulis (tes psikologi dan tes kemampuan akademik) serta wawancara
dengan pimpinan-pimpinan instansi tersebut, tanpa melibatkan oknum nepotis
tersebut. Saat seorang pegawai baru memperkenalkan diri, pertanyaan pertama
yang diajukan oleh pejabat nepotis tersebut adalah, “Anda bawaan siapa?” Ketika
pegawai tersebut mengatakan bahwa dia masuk melalui rekrutmen resmi, pejabat
itu malah mencibir pegawai baru.
Praktek nepotisme yang dilakukan oleh oknum tersebut sudah
melampaui batas kewajaran. Contoh kasusnya, ada seorang keponakannya yang
lulusan SMK jurusan Teknik direkrut menjadi staf bagian keuangan walaupun tidak
sesuai dengan kompetensinya. Ketika tiba saatnya pengajuan pengangkatan CPNS,
staf keuangan ini tiba-tiba telah menyandang titel Sarjana Ekonomi di belakang
namanya. Hal ini terjadi hanya setahun setelah ia masuk kerja. Padahal masih
banyak pegawai-pegawai honorer lain yang masa kerjanya lebih lama, belum
mendapat kesempatan untuk diajukan menjadi CPNS.
Pegawai-pegawai yang merupakan kerabat pejabat nepotis ini
seolah membentuk dinasti atau ‘gank’ tertentu di instansi ini. Hal ini
berakibat pada terciptanya iklim kerja dan budaya kantor yang tidak sehat. Para
pegawai yang masih berkerabat ini mendapat prioritas dalam pengajuan
pengangkatan CPNS, serta mendapatkan berbagai kemudahan dalam berbagai
kesempatan pengembangan karier, seperti penugasan ke luar daerah, kepanitian
acara-acara yang diadakan oleh instansi, sampai keikutsertaan dalam diklat,
pelatihan dan seminar pengembangan diri.
Kondisi lingkungan kerja yang demikian sangat tidak
menguntungkan dan tidak adil bagi pegawai lainnya. Hal ini berdampak pada
menurunnya motivasi dan semangat kerja, serta penurunan kinerja pegawai yang
masuk melalui jalur rekrutmen resmi. Akibatnya, banyak pegawai honorer yang
mengundurkan diri.
Kondisi ini malah dimanfaatkan oleh si oknum pejabat nepotis
itu untuk membuat opini yang menyatakan bahwa proses rekrutmen resmi tidak
efisien karena hanya menghabiskan anggaran serta menghasilkan pegawai rekrutmen
yang tidak kompeten dan berkinerja buruk. Pejabat tersebut malah membanggakan
prestasi kerabatnya dan malah menyarankan kepada koleganya untuk merekrut
beberapa kerabatnya lagi.
Ada oknum-oknum pejabat (terutama mereka yang mempunyai
kuasa dan kekuasaan) yang menginginkan anak-anak dan saudara-saudaranya
mempunyai jabatan, mempunyai kedudukan dan mempunyai tingkat ekonomi yang
memadai. Nepotisme adalah jalan keluar
yang cepat. Walaupun, anak-anak dan saudara-saudaranya itu tak punya kualitas,
kurang berwawasan, tak berkompeten, tak mampu memimpin. Hal-hal itu tidak
penting dalam proses nepotisme, yang penting angkat mereka, taruh mereka di
jabatan tertentu (terutama yang bisa korupsi). Mereka pati akan cepat kaya.
Mereka juga akan loyal serta menjadi penjilat dan pendukung nomor satu bagi
orang yang telah mengangkat mereka.
Comments
Post a Comment