Kode Etik Kedokteran Indonesia atau disebut
juga etika profesi dokter adalah merupakan pedoman bagi dokter Indonesia
dalam melaksanakan praktik kedokteran. Dasar dari adanya Kodeki ini
dapat kita lihat pada penjelasan Pasal 8 huruf f UU No. 29 Tahun 2004
tentang Praktik Kedokteran (UU Praktik Kedokteran) jo Pasal 24 UU No.
36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (UU Kesehatan)
Norma yang berlaku dalam dunia kedokteran, setidaknya ada 3 hal yakni:
a. Disiplin, sebagai aturan penerapan keilmuan kedokteran;
b. Etika, sebagai aturan penerapan etika kedokteran (Kodeki); dan
c. Hukum, sebagai aturan hukum kedokteran.
Pasal 8 Huruf f UU Praktik Kedokteran
Etika
profesi adalah kode etik dokter dan kode etik dokter gigi yang disusun
oleh Ikatan Dokter Indonesia (IDI) dan Persatuan Dokter Gigi Indonesia
(PDGI).
Pasal 24 UU Kesehatan
- Tenaga kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 harus memenuhi ketentuan kode etik, standar profesi, hak pengguna pelayanan kesehatan, standar pelayanan, dan standar prosedur operasional.
- Ketentuan mengenai kode etik dan standar profesi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur oleh organisasi profesi.
- Ketentuan mengenai hak pengguna pelayanan kesehatan, standar pelayanan, dan standar prosedur operasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri.
Penegakan
etika profesi kedokteran ini dilakukan oleh Majelis Kehormatan Etik
Kedokteran (“MKEK”) sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1 angka 3 Pedoman
Organisasi dan Tatalaksana Kerja Majelis Kehormatan Etika Kedokteran
Indonesia, Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK) ialah salah satu
badan otonom Ikatan Dokter Indonesa (IDI) yang dibentuk secara khusus di
tingkat Pusat, Wilayah dan Cabang untuk menjalankan tugas kemahkamahan
profesi, pembinaan etika profesi dan atau tugas kelembagaan dan ad hoc
lainnya dalam tingkatannya masing-masing.
Dengan
demikian, MKEK adalah lembaga penegak etika profesi kedokteran
(kodeki), di samping MKDKI (Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran
Indonesia) yakni lembaga yang berwenang untuk menentukan ada tidaknya
kesalahan yang dilakukan dokter dan dokter gigi dalam penerapan disiplin
ilmu kedokteran dan kedokteran gigi, dan menetapkan sanksi (lihat Pasal
1 angka 14 UU Praktik Kedokteran).
Sebenarnya
kelalaian tenaga kesehatan dan dokter dalam memberikan pelayanan
kesehatan kepada masyarakat/pasien tidak dapat dipidana. Sebab, dalam
tiga paket undang-undang di bidang kesehatan (UU No. 29 Tahun 2004
tentang Praktik Kedokteran, UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, dan
UU No. 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit) tak ada satu pasal pun yang
menyebutkan bahwa karena kelalaian seorang tenaga kesehatan termasuk
dokter bisa dipidana.
Pada
dasarnya, dalam hukum pidana ada ajaran kesalahan (schuld) dalam hukum
pidana terdiri dari unsur kesengajaan (dolus) atau kealpaan/kelalaian
(culpa). Namun, dalam ketiga undang-undang tersebut di atas yang
aturannya bersifat khusus (lex specialis) semua ketentuan pidananya
menyebut harus dengan unsur kesengajaan.
Namun,
dalam hal terjadi kelalaian dokter/tenaga kesehatan sehingga
mengakibatkan terjadinya malpraktik, korban tidak diwajibkan untuk
melaporkannya ke MKEK/MKDKI terlebih dahulu. Dalam Pasal 29 UU Kesehatan
justru disebutkan bahwa dalam hal tenaga kesehatan diduga melakukan
kelalaian dalam menjalankan profesinya, kelalaian tersebut harus
diselesaikan terlebih dahulu melalui mediasi. Meskipun, korban
malpraktik dapat saja langsung mengajukan gugatan perdata.
Jadi, ada beberapa upaya yang dapat ditempuh dalam hal terjadi kelalaian oleh tenaga kesehatan yakni:
a. Melaporkan kepada MKEK/MKDKI;
b. Melakukan mediasi;
c. Menggugat secara perdata.
Jika ternyata ada kesengajaan dalam tindakan tenaga kesehatan tersebut, maka dapat dilakukan upaya pelaporan secara pidana.
Dasar hukum:
1. Undang-Undang No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran;
2. Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan;
3. Undang-Undang No 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit.
Comments
Post a Comment