Kata nepotisme berasal dari kata Latin nepos, yang berarti “keponakan” atau “cucu”, secara istilah berarti mendahulukan anggota keluarga atau kawan dalam memberikan pekerjaan atau hak istimewa (Chambers Murray Latin-English Dictionary, 1983).
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, nepotisme dapat berarti (1) perilaku yang memperlihatkan kesukaan yang berlebihan kepada kerabat dekat; (2) kecenderungan untuk mengutamakan (menguntungkan) sanak saudara sendiri, terutama dalam jabatan, pangkat di lingkungan pemerintah; (3) tindakan memilih kerabat atau sanak saudara sendiri untuk memegang pemerintahan. Sedangkan menurut Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi No. 28 Tahun 1999 Pasal 1 Ayat 5, nepotisme adalah setiap perbuatan Penyelenggara Negara secara melawan hukum yang menguntungkan kepentingan keluarganya dan atau kroninya di atas kepentingan masyarakat, bangsa, dan negara.
Nepotisme juga dapat diartikan sebagai upaya dan tindakan seseorang (yang mempunyai kedudukan dan jabatan) menempatkan sanak saudara dan anggota keluarga besar, di berbagai jabatan dan kedudukan sehingga menguntungkannya (Pope, 2003). Nepotisme biasanya dilakukan oleh para pejabat atau pemegang kekuasaan pemerintah lokal sampai nasional, pemimpin perusahan negara, pemimpin militer maupun sipil, serta tokoh-tokoh politik. Mereka menempatkan para anggota atau kaum keluarganya tanpa mempertimbangkan kapasitas dan kualitasnya.
Walaupun praktek nepotisme ini sudah berlangsung sejak lama, istilah nepotisme mulai digunakan secara luas di Indonesia sejak tahun 1998. Pada masa itu, berita mengenai keluarga mantan presiden Soeharto dan para pejabat pemerintahan di masa Orde Baru yang melakukan praktek-praktek korupsi, kolusi dan nepotisme (disingkat KKN) sangat gencar diberitakan di media cetak maupun media elektronik. Rakyat Indonesia melalui serangkaian demonstrasi dan perwakilan di DPR dan MPR menuntut dihapuskannya praktek KKN tersebut. DPR dan Presiden BJ Habibie pun mengesahkan Undang-Undang Negara RI No 28 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Faktanya, praktek nepotisme masih kerap dilakukan di Indonesia, bahkan sudah menjadi rahasia umum dalam proses perekrutan pegawai baru, baik di instansi-instansi Pemerintah dan perusahaan-perusahaan BUMN maupun swasta. Masyarakat masih menganggap bahwa tindakan nepotisme tidak melanggar hukum seperti halnya korupsi. Padahal, pengesahan Undang-undang No 28 Tahun 1999 itu sudah merupakan dasar hukum sah yang melarang praktek nepotisme, bersama dengan korupsi dan kolusi.
Menurut Bartono dan Novianto (2005)¸ perusahaan dan para manajernya memiliki suatu tanggungjawab moral terhadap masyarakat, yaitu ikut membantu program pemerintah dalam masalah pemerataan tenaga kerja. Nepotisme malah menjadi kendala bagi tujuan pemerataan itu. Lowongan-lowongan kerja pada akhirnya hanya diisi oleh kerabat-kerabat dan relasi-relasi dari jalur birokrasi. Ada korelasi antara kondisi lapangan pekerjaan yang sempit dan budaya nepotisme yang ada dalam perusahaan-perusahaan, baik BUMN maupun swasta.
Praktik nepotisme jelas merugikan dan menyakitkan, karena
bertentangan dengan asas keadilan dan hak asasi manusia. Secara prinsip, setiap
warga negara berhak untuk memperoleh pekerjaan yang layak untuk bisa
menghasilkan pendapatan yang layak pula sehingga mampu memenuhi kebutuhan
pribadi dan keluarga. Namun, jika untuk mendapat pekerjaan yang layak harus
terganjal oleh adanya praktik nepotisme, maka pastilah banyak rakyat yang harus
hidup di bawah standar sejahtera.
Comments
Post a Comment