Badan
Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) adalah lembaga pemerintah non-departemen
yang melaksanakan tugas penanggulangan bencana di daerah baik Provinsi maupun
Kabupaten/ Kota dengan berpedoman pada kebijakan yang ditetapkan oleh Badan
Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana. BPBD dibentuk berdasarkan Peraturan
Presiden Nomor 8 Tahun 2008, menggantikan Satuan Koordinasi Pelaksana
Penanganan Bencana di tingkat Provinsi dan Satuan Pelaksana Penanganan Bencana
di tingkat Kabupaten / Kota, yang keduanya dibentuk berdasarkan Peraturan
Presiden Nomor 83 Tahun 2005.
Sebagai satuan kerja perangkat daerah
atau SKPD, maka BPBD harus dibentuk dengan landasan Peraturan Daerah (Perda).
BPBD bisa dibentuk dengan Peraturan Gubernur, Bupati atau Walikota tetapi
lembaga itu bukan kategori SKPD sehingga tidak dapat mengakses APBD dan
tunjangan-tunjangan lain di daerah yang bersangkutan, sumber daya manusia
yang terbatas, namun tetap dapat
mengakses dan on-call dari BNPB.
Mekanisme
BPBD yang dinilai masih baru, menyisakan pertanyaaan apakah mekanisme BPBD itu
lebih baik atau lebih buruk daripada Satkorlak ataupun Satlak, sebagai lembaga
ad hoc, yang artinya baru bekerja bila dibutuhkan atau terjadi kejadian
bencana. Sementara itu BPBD sudah bersifat permanen yang sudah mempunyai ada
anggaran, sumber daya manusia, perencanaan, peralatan dan lain-lainnya.
Kabupaten
Sukabumi sebagai kabupaten terluas se Jawa dan Bali, menempati ranking ke 6
nasional sebagai daerah yang memiliki tingkat kerawanan yang sangat tinggi,
seperti bencana geologi, vulkanologi, klimatologi, dan lingkungan.
Potensi
bencana di Sukabumi, dapat dilihat dari kondisi geografis, kawasan pesisir
pantai sepanjang 117 kilo meter, dua gunung berapi aktif yang sangat dekat
yaitu Gunung Salak dan Gede-Pangrango
dan juga memiliki puluhan Daerah Aliran
Sungai.
Dalam kerangka kerjanya BPBD terdapat tiga
bidang penanganan yaitu pra bencana,
saat bencana dan pasca bencana. BPBD mempunyai fungsi koordinasi, komando dan
pelaksana. Lalu bagaimana peran BPBD di daerah dalam proses-proses pembangunan
?
Sebagai
daerah yang sangat luas dan daerah yang tingkat APBD- nya rendah tapi mempunyai
tingkat kerawanan bencana yang tinggi. BPBD Kabupaten Sukabumi dituntut untuk
melaksanakan program yang sinergi dengan SKPD yang lainnya. Hal ini berkaitan
dengan pembiayaan guna menangani kebencanaan di daerah
Proses-proses
pembangunan banyak terkait dengan pengurangan resiko bencana (PRB) . Dalam
fungsi koordinasi pembangunan dipegang oleh Bappeda. Bagaimana koordinasi
antara Bappeda dan BPBD dalam mengintegrasikan pengurangan resiko bencana ke
dalam proses-proses pembangunan?
Pola
pikir saat ini masih banyak berupa tanggap darurat sehingga tidak terjadi
integrasi dalam pembangunan yang ada. Bila memahami bahwa pra bencana atau
pengurangan risiko bencana (PRB) itu sangat terkait dengan proses-proses
pembangunan maka akan dapat dimasukkan ke dalam pembangunan sebagai suatu yang
integral.
Dari
kesimpulan diatas lalu bagaimana hubungan konstelasi BPBD dengan Bappeda bila
tidak ada bencana ?
BPBD
tidak perlu mengambil fungsi Bappeda dalam melakukan perencanaan pembangunan.
Hal yang dapat dilakukan adalah
memperkuat pada isu-isu penanganan bencana ke dalam perencanaan
pembangunan yang disusun oleh Bappeda.
Sementara
itu partisipasi masyarakat dalam proses perencanaan pembangunan biasanya
melalui Musrenbang desa, kecamatan dan kabupaten/kota. Namun Seringkali
usulan-usulan dari desa atau kecamatan mentok di tingkat kabupaten/kota karena kalah posisi tawar
dengan SKPD dan dan prioritas pembangunan.
Penempatan
pejabat dan proyek pembangunan banyak disebabkan balas jasa pada saat
pemenangan pemilihan kepala daerah (Pilkada) juga dapat menggeser prioritas
yang sebelumnya sudah ada sesuai dengan kepentingan kelompok tertentu.
Terkait
dengan pembiayaan guna menangani kebencanaan di daerah, tentu saja semua sudah
tertuang dalam UU No. 24 Tahun 2007 Tentang Penanganan Bencana, di dalamnya
tercantum dana penanggulangan bencana
menjadi tanggung jawab bersama antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Dana
tersebut berupa penggunaan dana siap pakai ataupun dana tak tersangka.
Sistem
akuntasi di Indonesia masih dilakukan dengan asumsi bahwa semua dalam kondisi
normal atau tidak ada bencana. Contoh: dalam situasi darurat (emergency) untuk
belanja sukar sekali untuk mendapatkan kuitansi, stempel dan alamat penjual
barang. Hal ini mengakibatkan tidak siap untuk menyampaikan laporan keuangan
dari pembelanjaan pada situasi darurat. Maka dari itu banyak pengguna anggaran
dan tidak tersangka menjadi tersangka oleh BPKP atau KPK.
Comments
Post a Comment