Konsep pelestarian alam (nature conservation) sampai hari ini masih mencari bentuk-bentuk terapan yang tepat. Persoalan lingkungan hidup mulai muncul dan berkembang mulai abad ke-17, terutama setelah manusia berhadapan dengan teknologi dan revolusi industri di Eropa. Proses-proses mekanis dan penggunaan bahan-bahan kimiawi ternyata banyak yang tidak bersahabat dengan lingkungan. Munculnya mesin dan penggunaan bahan bakar mengakibatkan pencemaran yang berakibat serius bagi kerusakan ekosistem alam.
Karena itu ilmu konservasi alam harus selalu sejalan mengikuti perkembangan kecanggihan pengrusakan pada alam itu sendiri. Pelestarian alam merupakan cabang ilmu ekologi yang sifatnya konservatif mempertahankan nilai-nilai yang telah ada baik kondisi alami, estetika maupun kekayaan alam yang telah terbentuk sejak awalnya. Alam mengalami proses-proses perubahan menuju pada ekosistem yang seimbang setelah mencapai ratusan bahkan jutaan tahun. Maka mempertahankan alam yang telah menjalani proses tersebut boleh jadi merupakan kebanggaan sekaligus kebutuhan manusia.
Sudah tidak perlu dibantah lagi bahwa hutan primer dengan keanekaragaman hayati yang menghuninya akan mampu meredam dan menyerap partikel-partikel debu yang berbahaya bagi kelangsungan hidup manusia. Hutan tropis yang dimiliki Indonesia sebagai paru-paru bumi karena kemampuannya meredam polusi udara dan memasok oksigen. Maka konservasi alam identik dengan melestarikan hutan dan isinya secara utuh. Namun, upaya konservasi merupakan cara manusia agar dapat terus hidup harmonis dengan alamnya. Para ahli bersepakat bahwa pembangunan berkelanjutan bergantung pada pemeliharaan bumi.
Apabila kesuburan dan produktivitas planet Bumi tidak diamankan, masa depan umat manusia pasti menghadapi bencana. Oleh karena itu World Conservation Strategy mencanangkan tiga sasaran:
Perlindungan terhadap proses-proses ekologi yang penting serta sistem-sistem penunjang kehidupan
Perlindungan terhadap keanekaragaman genetis
Pemanfaatan spesies atau ekosistem secara berkelanjutan (IUCN, UNEP, WWF 1991)
Dengan demikian konservasi dilakukan juga secara spesifik dengan memperhatikan jenis tertentu misalnya penyelamatan spesies langka jika hewan dan tumbuhan tersebut dikategorikan di ambang kepunahan. Maka upaya konservasi pun tidak terbatas pada melindungi hutan belaka, namun mencakup di dalamnya upaya merehabilitasi spesies untuk kembali ke alam.
Suatu spesies sebagai kekayaan alam pasti mempunyai kerentanan baik terhadap musuh alaminya, penyakit, bencana alam, atau agresi manusia yang berusaha menangkap, mengonsumsi bahkan menggusur habitatnya. Kondisi seperti itu mengakibatkan satu spesies yang merupakan bagian dari khazanah alam yang seharusnya tetap terpelihara lalu berubah statusnya menjadi terancam punah, genting, rentan terhadap kepunahan, bahkan punah. Contoh-contoh binatang yang dikategorikan langka misalnya badak jawa (Rhinoceros sondaica), orangutan (Pongo pygmeans), harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae), jalak Bali (Leucopsar rothschildi), dll.
1. Hima’
Upaya untuk melindungi populasi spesies hidupan liar adalah dengan cara menyediakan lahan untuk habitat asli mereka secara utuh. Wujudnya dapat berbentuk cagar alam, taman nasional, atau hutan lindung. Islam memiliki ketentuan mengenai perlindungan alam termasuk dalam tatanan syariat.
Dalam Islam ketentuan mengenai perlindungan alam termasuk dalam syariat. Pelestarian hutan termasuk di dalamnya perlindungan terhadap keaslian lembah, sungai, gunung dan pemandangan alam lainnya, di mana makhluk hidup dapat hidup di dalamnya diistilahkan sebagai Hima.
‘Hima’ adalah suatu kawasan yang khusus dilindungi oleh pemerintah atas dasar syariah guna melestarikan kehidupan liar serta hutan. Nabi pernah mencagarkan kawasan di sekitar Madinah sebagai hima’ guna melindungi lembah, padang rumput dan tumbuhan yang ada di dalamnya. Nabi melarang masyarakat mengolah tanah tersebut karena lahan itu untuk kemaslahatan umum dan kepentingan pelestariannya. Nabi SAW bersabda:
“Tidak ada hima’ kecuali milik Allah dan Rasul-Nya” (HR. Al-Bukhari)
Rasulullah SAW mencagarkan lahan perlindungan sebagai fasilitas umum yang tidak boleh dimiliki oleh siapa pun. Nabi pernah mendaki sebuah gunung di Al-Naqi’ di sekitar Madinah. Beliau bersabda:
“Ini adalah lahan yang aku lindungi” -sambil memberi isyarat ke lembah
Lahan yang beliau lindungi luasnya satu kali enam mil (1 mil dalam standar kitab fiqh = 1,848 km, sedangkan dalam standar umum = 1,6093 km. Lihat: Kitab Al-Magadir fi al fiqh al-Islami, Dr. Fikri Ahmad Ukar, hal. 73) atau lebih dari 2049 ha. Di kawasan ini Rasulullah SAW memberikan tempat pada kuda-kuda perang kaum Muhajirin dan anshar.
Hima’ – yang telah diakui oleh FAO – memiliki ukuran berbeda-beda. Hima’ Al-Rabadha, yang dibangun oleh Khalifah Umar ibn Khattab dan kemudian diperluas oleh Khalifah Utsman, adalah salah satu yang terbesar. Membentang dari ArRabadhah di barat Najd hingga ke daerah sekitar kampung Dariyah. Pada tahun1965 ada kurang lebih 3000 hima’ di Arab Saudi. Sebagai peninggalan Islam, sampai sekarang banyak hima’-hima’ di Arab Saudi yang masih memiliki keanekaragaman hayati dan habitat-habitat biologi penting.
Sejumlah hima’ yang telah ditetapkan di Arabia barat ditumbuhi rumput sejak awal Islam dan diakui oleh Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia (FAO) sebagai contoh paling lama bertahan dalam pengelolaan padang rumput secara bijaksana di dunia.
Islam dengan teladan yang dicontohkan oleh Nabi serta pelaksanaan syariat Allah telah menerapkan praktis perlindungan alam yang sangat tepat. Meskipun hari ini terapan perlindungan terhadap alam telah mengalami perkembangan yang lebih kompleks dengan peruntukan yang berbeda.
Imam Al-Mawardi dalam kitab Al-Ahkam al Shulthaniyyah menerangkan tentang lahan yang dilindungi:
“Jika suatu lahan telah resmi sebagai lahan yang dilindungi (yang masih asli) itu tetap menjadi milik umum, dilarang untuk menghidupkan (mengubahkan menjadi lahan pertanian, pen.) untuk dimiliki. Semuanya itu dimaksudkan adalah untuk menghormati lahan tersebut. Jika semua masyarakat, orang kaya, orang miskin, muslim, dan kafir dzimmi mempunyai hak yang sama terhadap tanah yang dilindungi tersebut, maka rumput di lahan tersebut diberikan kepada kuda-kuda mereka dan hewan ternak mereka yang lain.”
Jika lahan yang dilindungi tersebut milik kaum muslimin, maka orang-orang kaya mempunyai hak yang sama dengan orang-orang fakir terhadap penggunaan lahan yang dilindungi tersebut, sedangkan orang-orang dzimmi dilarang menggunakannya.
Jika tanah yang dilindungi itu khusus untuk orang-orang fakir, maka orang-orang yang kaya dan orang yang dzimmi dilarang memanfaatkannya. Namun, lahan yang dilindungi tidak boleh dikhususkan untuk orang-orang kaya tanpa orang-orang fakir. Atau hanya dikhususkan untuk orang-orang dzimmi tanpa kaum Muslim. Jika lahan yang dilindungi diperuntukkan bagi kuda-kuda para mujahidin, maka kuda-kuda lain tidak boleh memanfaatkannya.
Jadi lahan yang dilindungi itu umum dan khusus. Jika tanah yang dilindungi dijadikan umum untuk semua manusia, maka mereka diperbolehkan memanfaatkan lahan yang dilindungi tersebut secara bersama-sama, karena tidak adanya kerugian para pengguna khusus tanah tersebut. Jika lahan umum itu tidak memadai untuk seluruh manusia, maka lahan yang dilindungi itu tidak boleh digunakan khusus untuk orang-orang kaya saja.”
Legitimasi tentang pengelolaan kawasan yang ditulis al-Mawardi yang hidup antara 370-450 H, merupakan gambaran jelas tentang mekanisme pemanfaatan yang sederhana namun global. Saat itu masyarakat muslim yang agraris sangat menggantungkan hidupnya pada pekerjaan pertanian dan peternakan. Maka isu pemanfaatan lahan merupakan hal sensitif yang perlu pengelolaan sebaik-baiknya. Sedangkan isu kaya atau miskin, merupakan petunjuk umum dan sederhana dalam pengelolaan pemanfaatan hima’
Ziauddin Sardar (1985) mencatat di kawasan Semenanjung Arab terdapat enam tipe hima’ yang tetap dilestarikan hingga kini:
1. Kawasan lindung di mana aktivitas menggembala dilarang
2. Kawasan di mana pohon dan hutan serta penebangan kau dilarang atau dibatasi
3. Kawasan di mana aktivitas penggembalaan ternak dibatasi untuk musim tertentu
4. Kawasan lindung terbatas untuk spesies tertentu dan jumlah tertentu dan jumlah hewan ternak yang dibatasi
5. Kawasan lindung untuk memelihara lebah, di mana penggembalaan diperkenankan pada musim berbunga
6. Kawasan lindung yang dikelola untuk kemaslahatan desa-desa atau suku tertentu
2. Iqta
Iqta merupakan lahan (garap) yang dipinjamkan oleh negara kepada para investor atau pengembang dengan perjanjian kesanggupan untuk mengadakan reklamasi (perbaikan lahan yang digarap). Oleh karena itu dalam menggarap Iqta, harus ada jaminan tanggung jawab dan keuntungan baik untuk investor penggarap maupun untuk masyarakat sekitarnya. Apabila penggarap telah membangun lahan tersebut menjadi produktif, maka dia tidak bisa memindahtangankan lahan tersebut kepada orang lain.
Apabila lahan tersebut selama 3 tahun ditelantarkan, maka penguasa negara bisa mencabut hak pakai penggarap lahan dan mengalihkannya kepada pihak lain yang ingin menghidupkan tanah tersebut. Lahan yang digunakan untuk Iqta adalah lahan yang di dalamnya tidak ada kepentingan umum, misalnya sumber daya air, kepentingan ekosistem dan tidak menimbulkan masalah baru bagi daerah sekitar pada masa penggarapan. Dalam kawasan tersebut juga harus dipastikan tidak terdapat sumber daya mineral atau keuntungan umum lain yang seharusnya dikuasai oleh pemerintah untuk kemaslahatan orang banyak.
3. Harim
Harim adalah lahan atau kawasan yang sengaja dilindungi untuk melestarikan sumber-sumber air. Harim dapat dimiliki atau dicadangkan oleh kelompok atau individu ataupun kelompok. Biasanya harim terbentuk bersamaan dengan keberadaan ladang dan persawahan, tentu saja luas kawasan ini berbeda. Di dalam sebuah desa, harim dapat difungsikan untuk menggembalakan hewan ternak atau mencari kayu bakar.
Akses masyarakat ke tempat ini pun dimudahkan; dapat ditempuh tidak lebih dari satu hari pada hari yang sama. Yang penting dalam harim ini adalah adanya kawasan yang masih asli (belum dirambah), tidak dimiliki individu namun menjadi hak milik umum. Pemerintah dapat mengadministrasikan atau melegalisasi kawasan ini untuk keperluan bersama. Pada era Turki Utsmani harim digunakan untuk menunjukkan suatu area (di sekitar rumah) yang terlarang bagi laki-laki asing (untuk memasukinya). Kata harim sendiri berarti suatu hal yang pribadi, sangat dihormati dan dimuliakan.
4. Ihya al-Mawat
Tanah sebagai unsur lingkungan paling mendasar mendapat perhatian lebih dalam Islam. Semangat menghidupkan (Ihya) kawasan mati/tidak produktif (al mawat) merupakan anjuran kepada setiap muslim untuk mengelola lahan supaya tidak ada kawasan yang terlantar. Menghidupkan di sini termasuk juga menjaga dan memelihara kawasan tertentu untuk kemaslahatan umum dan mencegah bencana. Semangat menghidupkan lahan ini penting sebagai landasan untuk memakmurkan bumi. Tentu saja pemerintah dan perundang-undangan harus akomodatif dalam mengelola dan menerapkan peraturan pemilikan lahan secara konsisten.
5. Khatimah
Jejak-jejak yang diberikan oleh Islam dalam memelihara alam, setidaknya dapat menjadi tolak ukur bagi umat Islam dunia dalam mencari justifikasi mengenai kewajiban umat menjalankan perlindungan alam serta memelihara ekosistem Bumi. Karena itu muslim di Indonesia, bisa menjadi pelopor dengan ikut melestarikan SDA dan memelihara lingkungan dengan sebaik-baiknya agar bumi menjadi maslahat dan terpelihara bagi seluruh umat manusia. Jika hampir 200 juta penduduk muslim di Indonesia mengindahkan syariat dan mengamalkannya tentu merupakan kontribusi yang luar biasa bagi lingkungan karena kekayaan jenis, kesuburan ekosistem di darat dan laut dengan alamnya yang masih menyimpan SDA yang banyak harus dikelola dengan kerangka yang ramah lingkungan dan sesuai dengan syariat Islam.
Daftar Pustaka:
Mangunjaya, fachruddin M, 2005. Konservasi Alam dalam Islam. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia
Sumber www.dakwatuna.com
Comments
Post a Comment