Tubuh manusia itu memang indah, nggak heran makanya kalau dalam seni sering menjadi sumber inspirasi, atau bahkan obyek – baik dalam fotografi, seni lukis, seni patung, seni ukir, atau bahkan seni sastra. Tapi apa yang menjadi batasan apakah sebuah karya seni itu keindahan belaka, atau pornografi? Hal ini sebenarnya sangat subyektif. Apa yang menurut mata sang seniman itu sesuatu yang layak untuk dibuat karena nilai estetikanya, bagi orang lain bisa jadi murni pornografi
Kuncinya bukan terletak pada komposisi wajah obyek yang sedang dibuat, atau apakah proporsi tubuhnya dibuat dengan perhitungan anatomi yang tepat, juga bukan apakah karya itu dibuat dengan aliran realistis, impresionis, ekspresionis, atau aliran lainnya. Alasan seorang seniman membuat karya seni yang sensual adalah karena menurutnya, karyanya itu indah dan layak menerima pujian. Seperti juga halnya dalam fotografi. Yang terpenting bukan apakah foto itu berwarna atau nggak, kuno atau modern, laki-laki atau perempuan, tapi yang menjadi kuncinya adalah cara pendekatan si seniman terhadap obyeknya.
Nggak semua seniman yang menggambar obyek telanjang itu mempunyai pikiran yang porno. Nggak semua seniman itu pornografer, tapi pornografer bisa saja mengganggap diri mereka seniman. Seorang pornografer biasanya adalah orang yang sangat eksibisionis dan tujuannya hanya satu: untuk merangsang penikmat karyanya. Sementara seorang seniman nggak berpikir seperti itu. Dia membuat karya yang erotis semata-mata karena menurutnya subyeknya itu adalah sesuatu yang indah.
Jadi, hal utama yang mereka kejar adalah materi, sementara yang dikejar oleh seorang seniman adalah keindahan. – meskipun karya mereka bisa jadi juga menghasilkan uang, meskipun uang bukan tujuan utama mereka. Sementara seorang pornografer nggak terlalu peduli dengan keindahan, yang penting karyanya dapat merangsang orang lain dan dapat menghasilkan banyak uang.
Kata “pornografi” sendiri memang hampir selalu berkonotasi dengan eksploitasi seksualitas manusia. Nggak heran makanya banyak penulis (terutama penulis perempuan) yang sering mengeluhkan hal ini, bahwa pornografi itu hanya bertujuan untuk memuaskan nafsu laki-laki. Pornografi memang bertujuan untuk menjadi pelarian sementara bagi orang-orang yang frustrasi secara seksual, sementara erotisme menawarkan sesuatu yang lebih dalam: mengajak kita untuk memasuki sebuah pengalaman yang “derajatnya” tentu lebih tinggi.
Kesimpulannya, yang membedakan erotisme dengan pornografi bukanlah sesuatu yang bersifat grafis, tapi tujuan dibuatnya karya itu. Erotisme nggak akan berfokus pada alat kelamin manusia atau kegiatan seksual, baik antara laki-laki dan perempuan, atau kegiatan seksual kaum gay dan lesbian, tapi berfokus pada makna dan simbolisme di balik itu semua. Perilaku sang seniman akan terlihat jelas saat karyanya itu sudah selesai dibuat: mana yang seniman sejati, atau mana si pornografer.
Comments
Post a Comment