Desa merupakan tempat terindah melepas lelah kehidupan kota yang penuh dengan kerumitan, desa merupakan rangkaian dusun yang menyatu menjadi satu dalam sebuah komunitas, desa merupakan tempat lahirku, lahir dan tumbuh dewasa, mengenal dunia mengenal hidup, mengenal pencipta dan yang dicipta, mengenal air dan diairi, mengenal angin dan diangini, mengenal segalanya meski yang kukenal bukanlah segalanya.
Sudut desa ini, adalah sudut sepi dan tempat menyempi para tetua menenangkan diri, tempat para tetua meneduhkan suka dan duka, tempat menyembuhkan luka yang tercipta oleh dunia luar. Sudut desa ini, kini tak lagi sebagai peneduh, tak ada lagi rimbunan pepohonan tinggi tempat burung tekukur bertengger, sudit desa ini, tak ada lagi kicauan burung yang terdengar menyambut pagi.
Di sudut desa ini, seakan terpaksa menjadi kota meski tak kan pernah menjadi kota. Dan sudut desa inilah, segala kebohongan dunia mulai tercipta, mengotori air, tanah dan udara desa, sehingga mengeringkan sungai-sungai mengalir deras, melayukan tumbuhan dan menggugurkan dedaunan.
Disudut desa ini, lihatlah terus terpampang wajah yang ingin maju kedepan tetapi tak sedikit pun menoleh kebelakang, didesa ini pula, dipaksa lahir politisi-politis yang kelak mengotori tatanan kearifan lokal.
kini bukanlah desa lokal dengan sejuta kearifannya, yang menjunjung tinggi adat budaya dan bahasa, masa kini tak lagi sebagai wilayah yang mampu menentukan nasibnya sendiri, sebagaimana dulu mampu menentukan masa depannya. Saat ini desa ku harus pecah dan retak dengan puluhan komunitas desa yang masing-masing senang bersaing, padahal dulu wilayah ini bebas dari pengaruh mana pun bahkan diduga memiliki sebuah sejarah kerajaan sendiri, yang akhirnya dimusnahkan penakluk kulit putih biadab.
Sudut Desa makin sempit, ladang makin sempit karena dipaksa menjadi sawah yang tak menghasilkan apa-apa, sudut desa yang mulai disentuh keserakahan modern yang tak berpihak pada rakyat, sementara para pemimpinnya ikut terjebak pada politik modern. Desa ini seakan terlupakan, meski upaya peningkatan kesejahteraan terus dikobarkan.
Tetapi terus menambah deretan kemiskian negeri ini, padahal dulu, semiskin-miskinnya orang desa adalah mereka yang berkuda, memiliki sapi dan kambing dengan sehektar bidang tanah.
Air sungai tak sedingin dulu, tak sederas dulu, dan tak sejernih dulu. Tak sedikit racun mencemari sungai-sungai karena air sawah yang dilumuri obat pembasmi hama ikut mematikan ikan-ikan air tawar.
Gunung-gunungnya tak seindah dulu, karena kini dipaksa menjadi ladang hidup untuk menopang kehidupan manusia, tak ada lagi buah-buahan tumbuh secara merata, yang sedianya dipanen setiap tahun, karena tanahnya tak lagi cocok untuk ditanami.
Semuanya telah berubah, dipaksa menjadi modern tanpa di didik menjadi moderat, bahkan cenderung terjebak pada kekeliruan politik yang sarat dengan perpecahan diantara masyarakatnya.
Comments
Post a Comment