Skip to main content

We have bigger houses but smaller families.

Di musim jutaan orang pulang kampung untuk silaturahmi Idulfitri ini, saya teringat renungan Dalai Lama. Tokoh spiritual Tibet ini menyoroti kehidupan manusia modern yang penuh paradoks.  

Dalai Lama menulis:  "We have bigger houses but smaller families...."

Rumah-rumah semakin besar, dan mewah, penuh fasilitas, tapi sepi penghuni. Tak banyak orang yang menikmati karena keluarga pemilik rumah memang kecil. Hanya dua atau satu anak.

Itu pun ada anak kuliah atau bekerja di kota lain. Maka rumah nan besar dan penuh fasilitas yang nyaman itu hanya ditempati ayah, ibu, dan satu anak.

Kemudian si anak perempuan menikah, tinggal bersama suaminya, maka ayah dan ibu tinggal sendirian di rumah itu. Hanya ditemani pembantu.

Sebelum program keluarga berencana dipaksakan orde baru, keluarga Indonesia memang rata-rata punya banyak anak. Saya masih ingat disatu keluarga paling sedikit punya lima anak. Pasutri punya delapan anak, sembilan anak, bahkan 10 anak mudah ditemui di desa-desa.
Rumah-rumah di pelosok 1980an pun sangat sederhana. Atapnya alang-alang, lantai tanah, dinding gedhek atau setengah tembok, sempit sekali. Anak-anak yang banyak itu tidur berjejalan karena tak banyak kamar yang tersedia.

Saya juga sering melihat baba-bapa Tionghoa yang anaknya banyak sekali. Banyak anak banyak rezeki, kata pepatah lama. Maka toko-toko Tionghoa di kawasan perniagaan pun tampak ramai dengan anak-anak yang bermain atau membantu orang tuanya di toko plus rumah tinggal itu. Ada baba punya anak delapan, sembilan, sepuluh, dst.

Tapi zaman berubah dengan cepat seiring keberhasilan Keluarga Berencana. Tak hanya di kota, saat ini orang desa di pelosok  pun jarang yang punya anak banyak. Sudah tak banyak pasutri yang punya tiga anak, apalagi empat.

Anak sedikit, mereka pun hijrah ke kota untuk sekolah, kuliah, atau bekerja. Maka rumah di desa yang makin luas dan bagus kini pun lengang. Tak ada lagi celotehan anak-anak yang meriah, perang mulut, bikin ramai kayak zaman dulu.

Bahkan sekarang ini makin banyak rumah yang besar dan bagus tak punya penghuni. Sebab kedua orang tua sudah tiada, sementara sang anak tinggal di kota, punya keluarga sendiri.

Begitulah paradoks manusia modern sebagaimana diungkapkan Dalai Lama. Di musim mudik lebaran ini jutaan orang kembali ke kampung untuk sejenak mengisi kamar-kamar kosong di rumah yang besar di kampung halaman. Kembali ke kota, rumah megah itu pun sepi lagi. Sebab desa-desa kita memang makin ditinggal penghuninya yang mengais rezeki di kota atau jadi TKI di luar negeri

Comments

Popular posts from this blog

Merchandise Band Store

http://www.getupshop.com/ http://www.rockabilia.com/ http://www.pyrettaslair.com/ http://www.madsupply.com/ http://www.extrememetalmerchandise.com/ http://www.grindstore.com/ http://merchnow.com/ http://www.star500.com/ http://www.loudclothing.com/ https://eyesoremerch.com/ http://www.thisispulp.co.uk/ http://shop.nuclearblast.com/ http://www.rock.com/ http://www.gig-merch.com/ http://www.allinmerch.com/ http://shirt.woot.com/ https://www.indiemerchstore.com/ http://www.rastilho.com/ http://www.merchconnectioninc.com/ https://www.bandtshirts.com.au/ http://www.rockzone.se/ http://www.martyrstore.net/ http://www.heavymetalmerchant.com/ http://www.illrockmerch.com/ https://ca.rockworldeast.com/

Kepercayaan Sunda Wiwitan

Sunda Wiwitan adalah agama atau kepercayaan pemujaan terhadap kekuatan alam dan arwah leluhur (animisme dan dinamisme) yang dianut oleh masyarakat tradisional Sunda.  Akan tetapi ada sementara pihak yang berpendapat bahwa Agama Sunda Wiwitan juga memiliki unsurmonoteisme purba, yaitu di atas para dewata dan hyang dalam pantheonnya terdapat dewa tunggal tertinggi maha kuasa yang tak berwujud yang disebut Sang Hyang Kersa yang disamakan dengan Tuhan Yang Maha Esa. Penganut ajaran ini dapat ditemukan di beberapa desa di provinsi Banten dan Jawa Barat, seperti di Kanekes, Lebak, Banten; Ciptagelar Kasepuhan Banten Kidul, Cisolok, Sukabumi; Kampung Naga; Cirebon; dan Cigugur, Kuningan. Menurut penganutnya, Sunda Wiwitan merupakan kepercayaan yang dianut sejak lama oleh orang Sunda sebelum datangnya ajaran Hindu dan Islam. Ajaran Sunda Wiwitan terkandung dalam kitab Sanghyang siksakanda ng karesian, sebuah kitab yang berasal dari zaman kerajaan Sunda yang berisi ajaran keagamaan d

Kartun Sindiran Politik

Jika mendengar kata kartun  asosiasi yang terbentuk langsung pada sebuah gambar yang lucu dan menarik, kemudian akan membuat orang tersenyum. Mungkin senyum geli tapi tak jarang senyum kecut. Ia bisa menyindir ke sana ke mari tanpa menyakiti.  Bagi anak-anak  kata kartun tentu tidak asing lagi di benaknya. Hal ini disebabkan karena kartun merupakan sarana hiburan yang biasanya dapat disaksikan di televisi dimana telah berkembangnya dewasa ini kartun memasuki media perfilman seperti film Doraemon, Sponge Bob, Tom and Jerry dan sebagainya. Hal tersebut menjadikan film kartun dapat di konsumsi oleh anak-anak tanpa harus membaca teks seperti yang telah tersadur kedalam sebuah komik ataupun biasanya didapatkan pada majalah anak-anak. Akan tetapi kartun tidak hanya menjadi hiburan semata, karena kartun dapat diartikan sebagai  sebuah gambar yang bersifat representasi simbolik, mengandung unsur sindiran, lelucon, atau humor. Kartun biasanya muncul dalam publikasi secara periodik, da