Yang dimaksudnya dengan mitos kekerasan agama adalah “gagasan bahwa agama adalah segi-segi kehidupan manusia yang transhistoris dan transkultural – yang secara esensial berbeda dari segi-segi kehidupan manusia yang ‘sekular’ seperti politik dan ekonomi – dan yang punya kecenderungan berbahaya mempromosikan kekerasan.”
Karena gagasan ini, agama harus dikerangkeng dengan membatasi aksesnya ke ruang publik. Di sini negara-bangsa (nation-state) yang sekular tampil sebagai sesuatu yang seakan-akan natural, sejalan dengan kebenaran yang dianggap universal dan abadi mengenai bahaya inheren agama.
Ketika pekan lalu peperangan terjadi (kembali) antara Israel dan Hamas (Palestina), banyak orang berdiskusi mengenai akar-akar kekerasan agama. Logikanya, wilayah yang didiami Israel dan Palestina selalu jadi hot spot peperangan, karena di sana ada banyak orang masih percaya pada agama: umat Yahudi di satu pihak dan kaum Muslim di pihak lain.
Disebutkan juga bahwa konflik ini sangat mengkhawatirkan karena tiga alasan. Pertama, janji kesyahidan dalam agama-agama mempersulit kesediaan mereka yang terlibat untuk melakukan bergaining dan menahan-diri (deterrence). Kedua, perang-perang saudara yang disulut agama lebih mematikan, membawa kerusakan lebih buruk dibanding perang-perang yang diakibatkan alasan-alasan lain. Dan ketiga, kekerasan yang ditopang argumen agama cenderung mencampuradukkan otoritas temporal dan religius, yang pada ujungnya cenderung melahirkan bentuk-bentuk pemerintahan yang otoritarian.
Argumen di atas kurang meyakinkan. Bahkan, sama sekali tak masuk akal. Demikian juga akibat yang dibayangkan.
Alasannya sederhana: jika kekerasan itu melekat pada dan merupakan bagian esensial dari agama, maka order tidak akan ada di dunia ini, karena ada begitu banyak orang masih beragama. Jika argumen di atas betul, yang ada hanya anarchy, kekacauan.
Kenyataannya, peperangan karena alasan agama (hanya) terjadi pada masa-masa tertentu dan di tempat-tempat tertentu. Agar argumen meyakinkan, variasi di dalam place dan time itu harus bisa dijelaskan.
Jika soal variasi ini diperhatikan, yang normal terjadi malah bukan peperangan antar-agama, melainkan hubungan damai di antara (para pemeluk) agama. Atau peperangan di antara sesama pemeluk agama yang sama.
Jika benar Timur Tengah terbakar karena faktor umat Yahudi (Israel) dan Islam (Palestina), mengapa perang yang sama tak terjadi antara Israel dan Mesir? Mengapa pula peperangan di antara Israel dan Pelstina hanya terjadi di waktu-waktu tertentu, dan tidak terus-menerus dan habis-habisan sehingga salah satu pihak musnah, misalnya?
Karena gagasan ini, agama harus dikerangkeng dengan membatasi aksesnya ke ruang publik. Di sini negara-bangsa (nation-state) yang sekular tampil sebagai sesuatu yang seakan-akan natural, sejalan dengan kebenaran yang dianggap universal dan abadi mengenai bahaya inheren agama.
Ketika pekan lalu peperangan terjadi (kembali) antara Israel dan Hamas (Palestina), banyak orang berdiskusi mengenai akar-akar kekerasan agama. Logikanya, wilayah yang didiami Israel dan Palestina selalu jadi hot spot peperangan, karena di sana ada banyak orang masih percaya pada agama: umat Yahudi di satu pihak dan kaum Muslim di pihak lain.
Disebutkan juga bahwa konflik ini sangat mengkhawatirkan karena tiga alasan. Pertama, janji kesyahidan dalam agama-agama mempersulit kesediaan mereka yang terlibat untuk melakukan bergaining dan menahan-diri (deterrence). Kedua, perang-perang saudara yang disulut agama lebih mematikan, membawa kerusakan lebih buruk dibanding perang-perang yang diakibatkan alasan-alasan lain. Dan ketiga, kekerasan yang ditopang argumen agama cenderung mencampuradukkan otoritas temporal dan religius, yang pada ujungnya cenderung melahirkan bentuk-bentuk pemerintahan yang otoritarian.
Argumen di atas kurang meyakinkan. Bahkan, sama sekali tak masuk akal. Demikian juga akibat yang dibayangkan.
Alasannya sederhana: jika kekerasan itu melekat pada dan merupakan bagian esensial dari agama, maka order tidak akan ada di dunia ini, karena ada begitu banyak orang masih beragama. Jika argumen di atas betul, yang ada hanya anarchy, kekacauan.
Kenyataannya, peperangan karena alasan agama (hanya) terjadi pada masa-masa tertentu dan di tempat-tempat tertentu. Agar argumen meyakinkan, variasi di dalam place dan time itu harus bisa dijelaskan.
Jika soal variasi ini diperhatikan, yang normal terjadi malah bukan peperangan antar-agama, melainkan hubungan damai di antara (para pemeluk) agama. Atau peperangan di antara sesama pemeluk agama yang sama.
Jika benar Timur Tengah terbakar karena faktor umat Yahudi (Israel) dan Islam (Palestina), mengapa perang yang sama tak terjadi antara Israel dan Mesir? Mengapa pula peperangan di antara Israel dan Pelstina hanya terjadi di waktu-waktu tertentu, dan tidak terus-menerus dan habis-habisan sehingga salah satu pihak musnah, misalnya?
Comments
Post a Comment